Analisis Pengaruh Kandungan Zat Pengotor dan Zat Pereduksi Terhadap Kestabilan KIO3 Pada Garam Konsumsi

Oleh: MASWATI BAHARUDDIN

Upaya pembangunan nasional yang sedang dilaksanakan pada hakekatnya adalah upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagai pencerminan dari tujuan nasional. Seperti halnya di negara-negara berkembang lainnya, di Indonesia kekurangan gizi merupakan masalah utama yang diketahui dapat menghambat lajunya pembangunan nasional (Kodyat, 1992). Di samping itu kekurangan gizi pada anak sebenarnya adalah bentuk dari kelaparan tidak kentara dan itu salah satu ukuran kesejahteraan selain kesehatan dan pendidikan (Soekirman, 2002).

Pada saat ini masih terdapat masalah kekurangan gizi terutama diderita oleh bayi, anak–anak usia sekolah, dan wanita. Tiga macam kekurangan gizi yang dipandang sebagai masalah kesehatan umum di Indonesia adalah : defisiensi iodium, vitamin A, dan zat besi (Wirakastakusumah, 1998). Gangguan  akibat kekurangan Iodium (GAKI) dapat mengakibatkan gondok, kretin, menurunnya kecerdasan, dan untuk tingkat yang lebih  berat dapat mengakibatkan gangguan otak dan pendengaran serta kematian bayi (Mulyanto, 1986).

Pada tahun 1995 Biro Pusat statistik (BPS) dan UNICEF telah melakukan survey nasional tentang GAKI. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa semua propinsi di Indonesia kecuali Kalimantan Timur, rata-rata penduduknya mengalami  kekurangan Iodium. Berdasarkan laporan tersebut penyebab utamanya adalah kandungan iodium yang tidak memadai pada garam konsumsi yang beredar di masyarakat (BPS-UNICEF Report, 1995). Hal tersebut  disebabkan oleh kualitas garam yang dihasilkan oleh petani garam sangat rendah,  sedangkan industri garam yang mengolah garam bahan baku tersebut tidak cukup memadai dalam meningkatkan kualitas garam agar  iodium yang ditambahkan pada garam tersebut  tidak mudah hilang atau berkurang (Saksono, 1998). Hal ini dapat dipahami karena sebagian besar industri pengolahan garam rakyat adalah berskala kecil dan menengah, di mana modal dan sumber daya manusianya sangat terbatas, ditambah lagi harga garam yang sangat murah (SNI Deperindag,1994).

Kebijakan yang telah ditempuh pemerintah untuk meningkatkan kualitas garam rakyat dibagi dalam dua pendekatan (Holman, 1960) :

  1. memperbaiki cara pembuatan garam pada petani garam. Namun hingga saat ini cara tersebut tidak efektif, mengingat cara pembuatan garam yang baik membutuhkan lahan/ladang garam yang cukup luas, di samping modal dan keahlian yang memadai, sehingga cara tersebut tidak mendapat tanggapan positif dari petani garam,
  2. memperbaiki cara pengolahan garam rakyat pada industri-industri garam. Cara ini cukup efektif untuk industri garam berskala besar, di mana mereka mampu menerapkan teknologi proses yang canggih, sehingga dapat dihasilkan garam dengan stabilitas iodium yang cukup baik. Sayangnya produk mereka harganya lebih mahal, sehingga hanya dikonsumsi oleh golongan masyarakat yang mampu.

Proses pengolahan garam pada industri kecil dan menengah umumnya menggunakan proses pencucian dan pengeringan. Pencucian garam dilakukan dengan memakai larutan jenuh garam (brine) yang digunakan berulang kali dengan tujuan untuk menghilangkan kotoran dari permukaan garam, sedangkan proses pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air (Mannar, 1995).

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terlihat bahwa zat  yang bersifat higroskopis dan pereduksi pada garam adalah yang  paling bertanggung jawab terhadap hilangnya iodium pada garam. Zat tersebut terbentuk bersamaan dengan pembentukan garam (Saksono, 2000).

Proses pencucian yang optimum pada garam selain dapat menghilangkan zat pengotor, juga dapat melarutkan zat pereduksi pada garam, sedangkan proses pengeringan atau pemanasan yang sesuai dapat mengoksidasi zat pereduksi sehingga menjadi tidak aktif (Chauhan, 1960).

Proses pencucian dan pengeringan yang dilakukan di industri garam  yang ada di Indonesia saat ini ternyata belum cukup mampu menghasilkan garam dengan stabilitas iodium yang tinggi. Hal ini disebabkan pencucian dan pengeringan yang dilakukan hanya bertujuan meningkatkan tampilan fisik garam (bersih dan kering), dan belum sampai pada cara menghilangkan atau mendeaktifasi zat-zat pereduksi serta senyawa higroskopis (Mg dan Ca) pada garam, sehingga berdasarkan survey yang telah dilakukan, lebih daripada 50 % produk garam konsumsi yang dihasilkan industri garam memiliki stabilitas  iodium yang rendah.

Untuk itu perlu dilakukan studi analisis pengaruh kandungan zat pengotor dan zat pereduksi  terhadap kestabilan KIO3 pada garam konsumsi.

Leave a comment